Semarang (26/04) — Anggota DPR RI Dapil Jawa Tengah 1 Bukhori Yusuf menyatakan PKS menolak segala bentuk kejahatan seksual yang meliputi kekerasan seksual, kebebasan seksual, dan penyimpangan seksual.
Bukhori menyebut argumen ini sebagai salah satu dasar Fraksi PKS belum bisa menyetujui RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang telah disahkan oleh DPR.
“Kami belum dapat menyetujui RUU TPKS lantaran arah pengaturannya yang parsial, yakni hanya mengatur tentang kejahatan seksual berbasis kekerasan, sedangkan perihal kebebasan seksual dan penyimpangan seksual tidak diatur dalam RUU tersebut sehingga kami menilai RUU TPKS tidak komprehensif karena tidak mampu menjawab persoalan moralitas maupun isu perlindungan terhadap perempuan dan anak,” ungkap Bukhori dalam Seminar Nasional bertajuk Pelindungan Perempuan dan Anak dari Kekerasan selama Pandemi bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), Semarang, Sabtu (23/04/2022).atif,” pungkasnya.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada akhir 2021 membeberkan kasus kejahatan seksual pada anak yang meningkat signifikan, hampir 200 persen atau 3 kali lipat dibandingkan pada tahun 2020.
“Aduan tertinggi terkait kasus kejahatan seksual pada anak diantaranya pencabulan, pemerkosaan, pencabulan sesama jenis dan persetubuhan sesama jenis. Di sisi lain, KPPPA juga mencatat kasus kekerasan terhadap perempuan selama tahun 2020 telah terjadi sebanyak 6.554 kasus dimana 59,8 persennya terjadi dalam rumah tangga,” sebut Bukhori.
Anggota Badan Legislasi yang turut mengawal pembahasan RUU TPKS ini mengungkapkan, komitmen PKS terhadap pelindungan perempuan dan anak dari segala bentuk kekerasan maupun kejahatan seksual tidak perlu diragukan. Pasalnya, isu tersebut merupakan bagian dari prioritas PKS yang peduli terhadap ketahanan keluarga.
Misalnya selama pembahasan RUU TPKS di DPR, lanjutnya, pihaknya bahkan mendorong upaya pemberatan pidana, termasuk hukuman mati terhadap pelakunya untuk menunjukan betapa seriusnya konsekuensi bagi pelaku kejahatan seksual. Sebab dengan cara ini, instrumen hukum dapat memainkan perannya secara efektif sebagai sarana preventif perbuatan pidana melalui rekayasa sosial.
“Tidak hanya itu, perhatian PKS terhadap upaya penanganan, pelindungan, dan pemulihan terhadap korban kekerasan maupun kejahatan seksual telah ada jauh sebelum RUU TPKS ini dibahas. Kami memiliki lembaga khusus yakni Rumah Keluarga Indonesia (RKI) menyebar di seluruh wilayah di Indonesia yang menyediakan kurang lebih 1000 konsultan yang berfokus pada layanan advokasi, pendampingan hukum dan psikis, serta konsultasi terkait dengan kekerasan maupun kejahatan seksual,” paparnya.
Lebih lanjut, Bukhori menjelaskan bahwa Fraksi PKS juga telah memperjuangkan agar dalam RUU TPKS diatur perihal larangan dan pemidanaan terhadap perzinaan dan penyimpangan seksual sebagai salah satu bentuk tindak pidana kesusilaan. Sebab, pihaknya menilai norma perzinaan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) bermakna sempit sehingga tidak bisa menjangkau perbuatan zina yang dilakukan oleh pasangan yang keduanya belum terikat perkawinan dengan pihak lain.
“Rumusan dan ruang lingkup tindak pidana yang ada selama ini baru bisa menjangkau pelaku dengan jerat pidana apabila salah satu pihak sudah terikat perkawinan dan ada laporan pengaduan atasnya. Selain itu jerat pidana juga baru bisa berlaku apabila dilakukan terhadap anak di bawah umur. Sedangkan di luar itu, termasuk perbuatan LGBT, belum ada rumusan yang bisa menjeratnya secara pidana,” jelas Bukhori.
Bukhori menambahkan, selain menyoroti pada aspek pemidanaan, PKS juga mengusulkan supaya aspek pencegahan terhadap kejahatan seksual dimasukan dalam rumusan RUU TPKS yang menekankan pada penggunaan perspektif ketaatan terhadap agama dan penguatan ketahanan keluarga.
“Ketaatan pada agama menimbulkan kesadaran hakiki bagi penganut agama untuk menghindari perbuatan yang merendahkan martabat mereka karena dosa yang diperbuat. Begitupun halnya dengan pentingnya penguatan institusi keluarga untuk menangkal hal-hal negatif yang dapat terjadi di internal keluarga maupun yang berasal dari pengaruh luar,” tuturnya.
Di akhir paparannya, Legislator Dapil Jawa Tengah 1 ini mengimbau agar peserta menjaga dengan baik anggota keluarganya dari pengaruh pergaulan maupun disrupsi teknologi yang dapat membawa pengaruh negatif bagi anggota keluarga. Dia menekankan, supaya kemajuan teknologi dapat dimanfaatkan secara bijak dan sesuai kebutuhan, termasuk pentingnya peran pengawasan orang tua terhadap penggunaan gawai oleh anak.
“Dari banyak kasus kejahatan seksual yang menimpa anak banyak dipicu oleh konten pornografi ataupun pengaruh media sosial. Dengan begitu, selain diperlukan adanya peningkatan pengawasan terhadap anak dari pengaruh pergaulan luar, pengawasan terhadap penggunaan gawai oleh anak juga tidak boleh luput dari perhatian. Orang tua perlu memastikan bagaimana pemanfaatan gawai oleh anak dan pastikan mereka diberikan batas waktu dalam penggunaannya supaya tidak menimbulkan ekses negatif,” pungkasnya.