Catatan Kritis terhadap PP No. 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal

Oleh: Bukhori Yusuf, Lc., M.A. (Anggota Badan Legislasi DPR RI)

Pada tanggal 2 Februari 2021, Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal. Peraturan Pemerintah (PP) ini merupakan aturan turunan dari Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) sehingga secara otomatis mengganti PP sebelumnya, yakni PP No. 31 Tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH).

Tulisan ini adalah untuk menyorot apakah perubahan mengenai regulasi jaminan produk halal dalam PP terbaru ini terjabarkan dengan tepat selaras dengan aturan induknya, yakni UU Cipta Kerja, dimana UU kontroversial ini turut berdampak pada UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH). Di samping itu, penulis juga mencermati sejumlah isu krusial pada PP ini yang perlu dikritisi sebagai bahan masukan demi peningkatan penyelenggaraan jaminan produk halal.Continue reading

Milad 19 Tahun PKS: Ramadhan, Kemerdekaan dan Kemenangan

Oleh : K.H. Bukhori Yusuf, Lc., M.A. (Anggota Komisi VIII DPR RI/ Ketua DPP PKS Bidang Litbang)

Dalam panorama sejarah umat Islam, kemenangan dan bulan Ramadhan adalah dua hal yang saling bertaut satu sama lain. Tepatnya pada permulaan tahun ke-2 Hijriyah ketika perintah puasa pertama kali diturunkan.

Bertempat di sekitar 155 km arah barat daya Kota Madinah, sebuah padang gersang yang dikelilingi gunung-gunung tinggi menjadi saksi perjumpaan dua pasukan yang membawa misi yang haq dan misi yang batil.

Bahkan dalam As Sirah An Nabawiyah dijelaskan, kedua pasukan tersebut terdiri dari pasukan musyrikin Mekah dengan kekuatan tempur sejumlah 1.000 pasukan berhadapan dengan pasukan muslimin Madinah dengan kekuatan tempur sejumlah 319 pasukan.Continue reading

Kenapa RUU Minuman Beralkohol Harus Ada (?)

Oleh : Bukhori Yusuf, Lc., M. A. (Anggota Komisi VIII DPR RI dan Anggota Baleg FPKS)

Terdapat tiga pertimbangan utama kami yang membuat urgensi RUU Minuman Beralkohol (Minol) menjadi relevan untuk dikemukakan saat ini. Pertama, adalah pertimbangan filosofis. Kedua, pertimbangan sosiologis. Ketiga, adalah pertimbangan yuridis.

Lebih lanjut, penjelasan dari masing-masing pertimbangan tersebut akan penulis jabarkan melalui sejumlah poin di bawah ini.Continue reading

Mewaspadai Regulasi Jaminan Produk Halal di UU Cipta Kerja

UU Cipta Kerja turut berdampak pada pada perubahan sejumlah ketentuan di UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) sebagaimana hal ini diatur dalam Pasal 48 UU Cipta Kerja (versi 812 hlm.). Alhasil, UU Cipta Kerja yang pada satu sisi memberikan kemudahan bagi pelaku usaha, nyatanya juga memiliki sejumlah kelemahan pada substansinya sehingga berpotensi menimbulkan kerugian bagi konsumen produk halal apabila tidak disempurnakan melalui aturan turunan yang memadai.

Maka dalam tulisan ini, saya menyoroti dua persoalan utama yang membuat perubahan di UU JPH melalui UU Cipta Kerja berpotensi merugikan konsumen produk halal. Pertama, regulasi perpanjangan sertifikat halal yang memiliki kontrol pengawasan yang lemah. Kedua, penghapusan wujud sanksi administratif berupa penarikan barang dari peredaran.

Pertama, persoalan terkait regulasi yang melemahkan kontrol pengawasan. Sebelumnya, dalam Pasal 42 ayat (2) UU JPH (eksisting) berbunyi;Continue reading

UU Cipta Kerja dan Potensi Ancaman bagi Moral Bangsa

Bukhori Yusuf, Lc., M.A. (Anggota Baleg DPR RI Fraksi PKS)

Moral adalah nilai (value) yang berkenaan dengan perilaku, ucapan, maupun pola pikir manusia terhadap sesamanya dan dipengaruhi oleh tatanan sosial yang berlaku dalam suatu masyarakat. Dalam terminologi agama, moral kerapkali dikaitkan dengan akhlak, yakni wujud perbuatan maupun ucapan yang menampilkan budi pekerti yang luhur. Dalam prosesnya, pembentukan moral individu sesungguhnya dipengaruhi oleh sejumlah faktor, salah satunya adalah lingkungan sosial. Pada sisi lain, ekosistem lingkungan sosial ini terdiri dari sejumlah variabel pembentuk, antara lain yakni institusi pendidikan, keluarga, pergaulan, dan media massa.

Guru Besar FIB UI, MT Hardjatno pernah menurunkan satu artikel menarik dalam surat kabar Media Indonesia edisi Oktober 2018 dengan judul Peran Media sebagai Penjaga Moral. Dalam artikel tersebut ia menjelaskan, media bisa digunakan oleh pemiliknya, yang biasanya bermodal besar, untuk menentukan apa dan bagaimana mereka hendak memengaruhi alam bawah sadar kolektif suatu masyarakat. Pada gilirannya, masyarakat yang terbiasa terpapar oleh tayangan yang telah diatur sedemikian rupa akan menjalankan apa yang dikehendaki oleh kekuatan yang menguasai media tersebut. Artinya, bisa dikatakan bahwa kedudukan media memiliki pengaruh signifikan terhadap kontribusi pembentukan konstruksi budaya, perilaku, maupun cara pandang masyarakat terhadap sesuatu.Continue reading

UU Cipta Kerja, Kedaulatan SDM, dan Ketersediaan Pangan

Jakarta – Omnibus Law UU Cipta Kerja yang baru saja disahkan menyimpan potensi ancaman terhadap kedaulatan bangsa. Terdapat dua isu utama yang menjadi sorotan Fraksi PKS, yakni kedaulatan sumber daya manusia (SDM) dan kedaulatan sumber daya alam (SDA).

Pertama, isu terkait kedaulatan SDM, dalam hal ini kedudukan kaum pekerja yang terancam dieksploitasi oleh kaum pemilik modal. Harga diri bangsa kita, khususnya para kaum pekerja, terancam diinjak-injak oleh kepentingan kaum kapitalis yang tengah bersorak sorai. Mereka tengah bersuka cita karena pada akhirnya bisa mengisap habis tenaga kaum buruh di segala jenis pekerjaan tanpa terkecuali melalui status kontrak seumur hidup. Alhasil, sangat mungkin bangsa kita berpotensi menjadi budak di negeri sendiri.

Sebagai contoh, melalui UU Cipta Kerja ketentuan outsourcing (pemborongan pekerjaan) bisa diterapkan di semua jenis pekerjaan. Padahal dalam UU eksisting, hanya dibatasi di 5 jenis pekerjaan. Dalam Pasal 65 UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, ketentuan terkait outsourcing) dapat dilakukan sepanjang memenuhi syarat berikut: (1) dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama; (2) dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan; (3) merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; (4) tidak menghambat proses produksi secara langsung.

Celakanya, Omnibus Law UU Cipta Kerja justru menghapus pasal tersebut yang memberikan batasan terhadap outsourcing ini. Konsekuensinya, outsourcing bisa bebas diterapkan di semua jenis pekerjaan tanpa terkecuali. Sebenarnya, dalam UU 13 Tahun 2003, outsourcing hanya dibatasi di 5 (lima) jenis pekerjaan (cleaning service, keamanan, transportasi, catering, dan jasa migas pertambangan) sebagaimana telah diatur dalam Pasal 66 Ayat (1) berbunyi:Continue reading

Insiden Vandalisme dan Perusakan Rumah Ibadah: Darurat Perlindungan Simbol Agama

Bukhori Yusuf, Lc., M.A.

Anggota Komisi VIII DPR RI Fraksi PKS

Hari Selasa 29 September 2020, sebuah musala di Perumahan Villa Pasar Kemis, Kabupaten Tangerang, Banten menjadi target perusakan dan aksi vandalisme. Di lokasi, tampak beberapa coretan pylox dengan tulisan provokatif yang mengotori sejumlah dinding musala. Tidak hanya itu, sejumlah sobekan kertas Alquran juga ditemukan berserakan di lantai bersamaan dengan potongan sajadah yang sebelumnya telah tergunting secara acak. Ironisnya, aksi vandalisme ini hanya terpaut kurang dari satu minggu setelah insiden serupa terjadi di Jawa Barat.

Pada 23 September 2020, masjid di Kecamatan Coblong, Kota Bandung juga menjadi target perusakan oleh oknum warga yang diklaim gila. Tidak hanya itu, pelaku juga turut melayangkan ancaman pembunuhan terhadap pengurus masjid yang memergoki ulah pelaku di lokasi. Meskipun demikian, insiden tersebut tidak menimbulkan korban jiwa dan hanya menyebabkan kerugian materil, yakni beberapa kaca masjid yang pecah akibat lemparan batu. Melihat kembali beberapa bulan ke belakang, tepatnya 29 Januari 2020, kita juga pernah disuguhi peristiwa serupa yang menimpa musala Al-Hidayah di Minahasa Utara.

Lembaga pemantau HAM Imparsial mencatat sepanjang tahun 2019, telah terjadi 31 pelanggaran kebebasan beragama dan beribadah yang terjadi di 15 provinsi di Indonesia. Dari angka statistik tersebut, 14 diantaranya berupa insiden pelarangan pendirian tempat ibadah dan perusakan tempat ibadah. Mirisnya, rentetan insiden perusakan rumah ibadah tersebut terjadi dalam rentang waktu yang bahkan belum genap satu tahun. Artinya, fenomena ini menunjukan betapa rentannya simbol agama sebagai identitas kelompok agama menjadi objek kekerasan sehingga sangat potensial menjadi bom waktu bagi meletusnya konflik horizontal di masa mendatang.Continue reading

Insiden Penusukan Syaikh Ali Jaber: Darurat Perlindungan Tokoh Agama

Oleh: Bukhori Yusuf, Lc., M.A.

Anggota Komisi VIII DPR RI Fraksi PKS

Acara wisuda perdana tahfiz Taman Pendidikan Alquran sekaligus perayaan tahun baru Islam 1442 H di Kecamatan Tanjung Karang Barat, Bandar Lampung seketika berubah gaduh dan mencekam. Sebilah pisau terlihat telah menancap di lengan kanan Syaikh Ali Jaber, sosok ulama yang dikenal moderat oleh kalangan masyarakat sampai elit pemerintah. Tak ayal, mendapati kabar tersebut, Menkopolhukan Mahfud MD segera menginstruksikan seluruh aparat penegak hukum untuk mengusut tuntas kasus penusukan tersebut.

Sesungguhnya insiden kekerasan yang menyasar ulama atau tokoh agama ini tidak terjadi untuk pertama kalinya. Menurut data Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) tercatat telah terjadi peristiwa kekerasan berdimensi agama dan keyakinan sebanyak 75 kasus sepanjang tahun 2017.

Sementara, berdasarkan data Bareskrim Polri pada Februari 2018, terdapat 21 peristiwa kekerasan yang menimpa korban tokoh agama. Kasus tersebut diantaranya terjadi di Aceh, Banten, DKI Jakarta, Yogyakarta, Sumatera Selatan dan Jawa Timur. Sementara di Jawa Barat menjadi wilayah dengan kasus terbanyak, yakni 13 kasus.

Ironisnya, tindakan kekerasan tersebut tidak hanya menimbulkan luka cedera yang parah terhadap korban, akan tetapi ada yang sampai berakibat pada kematian sebagaimana menimpa Ustaz Prawoto (Pengurus Ormas Islam Persis) di Bandung yang dianiaya hingga tewas.Continue reading

Pemberantasan Korupsi dalam Pidato Jokowi Hanya Delusi?

Oleh: Bukhori Yusuf, Lc., M.A.

Tulisan ini merupakan sekuel lanjutan atas respon terhadap pidato kenegaraan Presiden pada Jumat lalu (14/8). Tulisan kedua ini secara khusus mencoba untuk membedah kelemahan narasi pidato Presiden, khususnya pada aspek pemberantasan korupsi. Dalam tulisan sebelumnya, kritik saya menyasar pada tata kelola dan efektivitas dari pelbagai jaring pengaman sosial yang diselenggarakan oleh pemerintah untuk mengatasi krisis ekonomi akibat pagebluk sampai menguatnya fenomena dinasti politik yang mengancam demokrasi. Pada bagian terakhir ini saya mencoba mengukur seberapa jauh komitmen pemerintah dalam pemberantasan korupsi saat diejawantahkan dalam tataran riil melalui sejumlah kebijakan yang telah diambil.

Terkait isu korupsi dan penegakan hukum, terdapat bagian krusial dalam pidato Presiden Jokowi pada kalimat berikut:

Pemerintah tidak pernah main-main dengan upaya pemberantasan korupsi. Upaya pencegahan harus ditingkatkan melalui tata kelola yang sederhana, transparan, dan efisien. Dan hukum harus ditegakan tanpa pandang bulu..”Continue reading

Jauh Panggang Dari Api: Respon Atas Pidato Kenegaraan Presiden

Oleh: Bukhori Yusuf, Lc., M.A.
Anggota Komisi VIII DPR RI Fraksi PKS

Sebelumnya, saya perlu menyampaikan apresiasi kepada segenap pihak atas keberhasilan penyelenggaraan sejumlah agenda besar kenegaraan yang diselenggarakan di Gedung DPR/MPR pada Jumat lalu. Agenda berlangsung khidmat dan aman meskipun di tengah situasi pandemi.

Sesi penyampaian pidato kenegaraan Presiden merupakan salah satu agenda kenegaraan yang menjadi sorotan publik. Dengan mengenakan pakaian khas Nusa Tenggara Timur, Presiden Jokowi tampil menyampaikan sejumlah pesan positif kepada masyarakat sekaligus melaporkan beberapa capaian kinerja pemerintah yang telah dilakukan sejauh ini.

Pada bagian ini, saya benar-benar mencermati betul setiap kata dan kalimat yang Presiden sampaikan sekaligus menggali secara mendalam terkait kebenaran atas apa yang Presiden sampaikan dalam pidatonya. Atau lebih tepatnya, atas apa yang disuguhkan oleh orang-orang di sekeliling Presiden sebagai bahan dari teks pidato tersebut. Sebab, dalam satu dua hal, saya tidak bisa menerima klaim yang disampaikan oleh Presiden sepenuhnya  jika dikontekstualisasikan dengan kondisi faktual di lapangan. Continue reading