Jakarta (18/04) — Anggota Badan Legislasi DPR RI dari Fraksi PKS, Bukhori Yusuf menilai RUU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP) berpotensi mendegradasi kedudukan DPR.
Bukhori merujuk pada Pasal 72 RUU PPP yang telah disetujui oleh DPR dan Pemerintah namun belum kunjung disahkan dalam rapat paripurna yang menyebut:
“Dalam hal Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama DPR dan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masih terdapat kesalahan teknis penulisan, dilakukan perbaikan oleh pimpinan alat kelengkapan DPR yang membahas Rancangan Undang-Undang tersebut dan Pemerintah yang diwakili oleh kementerian yang membahas Rancangan Undang-Undang tersebut”.
Bukhori mengatakan rumusan tersebut mendegradasi posisi DPR selaku pembentuk undang-undang karena dinilai melegitimasi kerja ugal-ugalan dalam membentuk peraturan perundang-undangan.
Bukhori menegaskan bahwa DPR tidak boleh mengorbankan tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dan benar di masa mendatang hanya karena ingin mengakali UU yang sudah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
“Rumusan ini sebenarnya merendahkan marwah DPR karena terkesan membenarkan kerja asal-asalan dalam membuat peraturan perundang-undangan semisal UU Cipta Kerja sehingga kami tegas menentangnya. Dalam rapat panja yang dihadiri oleh perwakilan fraksi DPR dan Pemerintah, saya telah mengingatkan supaya pembahasan RUU tidak dilakukan secara tergesa-gesa serta melibatkan partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation) demi menghasilkan kualitas legislasi yang baik,” ungkapnya di Jakarta, (18/04).
Bukhori mengaku khawatir praktik legislasi mendatang tidak mampu memberikan kepastian hukum akibat adanya rumusan baru tersebut. Oleh karena itu pihaknya sempat mengusulkan adanya pengaturan tentang alokasi waktu yang memadai untuk penyusunan RUU yang menggunakan metode Omnibus.
“Apakah DPR mau melegitimasi kerja asal-asalan? Sebaiknya kita cari slot waktu apabila tidak cukup waktu dalam pembahasan RUU supaya tidak tergesa-gesa. Memang apa yang mau dikejar? Bagaimana mungkin UU Ciptaker yang berdampak terhadap 78 UU hanya selesai dalam tiga kali masa persidangan? Tidak heran jika pada akhirnya MK menyatakan UU ini inkonstitusional. Karena itu cukuplah UU Cipta Kerja menjadi preseden buruk bagi kualitas legislasi kita yang tidak boleh kembali terulang,” tuturnya.
Lebih lanjut, Anggota DPR Dapil Jawa Tengah 1 mengatakan, paradigma Fraksi PKS dalam memandang tujuan revisi UU PPP dengan memasukan rumusan metode Omnibus adalah untuk menyelesaikan persoalan tumpang tindih pada beberapa peraturan perundang-undangan eksisting.
“Kami mengusulkan agar metode Omnibus hanya dapat digunakan untuk penyusunan peraturan perundang-undangan terhadap satu bidang atau topik khusus tertentu (kluster). Hal ini agar penyusunan peraturan perundangan tersebut fokus pada hal yang berkaitan dengan satu tema spesifik yang tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan untuk digabungkan dalam satu peraturan perundang-undangan baru dengan metode Omnibus,” paparnya.
Bukhori mencontohkan, misalnya terkait bidang Pendidikan. Menurutnya, bidang Pendidikan meliputi banyak aspek sehingga nantinya akan mengaitkan antara satu aspek dengan yang lain. Hematnya, semua peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Pendidikan semisal tentang guru, dosen, kurikulum, jenjang dan jenis pendidikan, pendidikan tinggi, dan semua hal terkait dengan Pendidikan akan ada dalam satu wadah aturan. Dengan begitu, masyarakat jadi mudah memahaminya dan kita selaku pembentuk UU juga mudah memahaminya, lanjutnya.
Ketua DPP PKS ini juga menyinggung soal hilangnya kewenangan daerah, dalam hal ini Badan Pembentukan Peraturan Daerah (BAPEMPERDA), dalam melakukan harmonisasi, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU Perda Provinsi akibat diambil alih oleh Pemerintah Pusat.
“Ketentuan ini menegasikan peran dari DPRD karena pengambilalihan kewenangan tersebut menunjukan watak rezim yang sentralistik sehingga mencederai semangat otonomi daerah yang telah diperjuangkan selama ini,” imbuhnya.
Meskipun delapan fraksi di DPR, kecuali Fraksi PKS, telah sepakat untuk membawa revisi UU PPP ke sidang paripurna, namun RUU tersebut belum kunjung disahkan. Pengesahan RUU itu baru akan dilaksanakan pada masa sidang mendatang.